Judulnya
gak ada sambungannya sama tulisan ini sih, dikasih judul itu karena tulisan ini
dibuat sehabis dengerin lagunya Enya – May It Be.
Tulisan
ini juga cuma menulis ulang, tulisan yang pernah dibuat beberapa waktu lalu dan
ilang dengan suksesnya setelah computer kantor dan MyTaptop diterjang virus.
Dua tulisan ku coba meringkasnya jadi satu disini. Isinya sih kebanyakan
keluh-kesah aja hehe, namanya juga manusia, bisanya cuma berkeluh kesah.
Tulisan
pertama tentang kejadian waktu datang di acara shalawatan di kawasan
cangkringan. Kejadiannya gini, aku sama temen ku dating ke acara shalawatan
sore-sore, gak biasanya acara shalawatan diadain sore hari, karena kebetulan
pas ada waktu kosong akhirnya aku memutuskan buat datang ke acara itu. Sampai
disana ternyata acara inti shalawatannya belum dimulai, tapi udah masuk ke
acara awal. Nunggu-nunggu, eh ternyata acaranya banyak sambutan-sambutannya. Di
situ baru ngeh, ternyata acara intinya emang sambutan-sambutan, soalnya disitu
acara penyerahan bantuan secara simbolis bagi korban erupsi merapi. Karena dari
rumah berharapnya datang ke acara shalawatan dan ketemunya acara sambutan-sambutan,
pastinya jadi ngerasa sebel, mangkel, tp untungnya nggak sampe marah-marah.
Aneh
ya, maunya ‘ibadah kok sampe sana marah mau marah..
Akhirnya
acara shalawatan pun dimulai, waktu udah sekitar jam 5 sore, berarti paling
lama 45 menit aja shalawatannya. Ya udah terlanjur datang ya tetep diikutin aja
shalawatnya. Nha disini ada kejadian yang serasa mengingatkan aku untuk selalu
menjaga hati dari nafsu dan emosi..
(nb:
sekarang diiringi lagu Caravansary-nya Kitaro,, berasa sendu gitu hahaha)
Yap,
pada awal shalawat di mulai, tepat di depanku ada seseorang, laki-laki, masih
usia muda, terlihat bershalawat sambil meneteskan air mata, bukan meneteskan
tapi lebih tepatnya sudah berlinangan air mata. Subhanallah,, di antara ramai
orang bershalawat dengan penuh semangat, ternyata ada yang bisa dengan khusyuk
menikmati shalawatnya. Masya Allah, Astaghfirullah, saat itu aku jadi merasa sangat
malu, selama ini ternyata dalam bershalawat aku masih hanya menikmatinya di
otak dan mulutku, tapi belum merasakan shalawat itu di hatiku.
Aku
nggak tau juga sih, apa orang itu bener2 bisa nangis waktu shalawat pertama
dilantunkan, dan shalawat mahlul qiyam dilantunkan, karena bener2 menikmatinya
dari hati, atau ada hal lain yang memicunya untuk menangis. bisa jadi orang itu
bener2 sangat menikmatinya sehingga secara tidak sadar ia merasa dekat dengan
Allah dan merindukan Rasulullah sehingga menangis. Atau juga bisa karena dia
pernah mengalami kejadian traumatis dan emosional sebelumnya, dan ketika
dilantunkan shawalat itu ia seperti mengadu kepada Allah, dia ingin menumpahkan
semua hal yang dirasa kepada Allah dan Rasulnya.
Apapun
itu, dari pandangan ku itu adalah bentuk menikmati shalawat dari hati, bukan
menikmati shalawat dari otak. Terus terang aku lebih respect dengan orang yang bisa bersholawat sambil
diam dari pada orang yang bershalawat sampai menaik-naikkan tangnnya. Karena dalam
(lagi-lagi) pandanganku itu malah terlihat berlebihan, menikmati tapi bukan
dari hati. Apalagi bershalawat sambil menunjukkan gerakan-gerakan yang akhirnya
malah mirip sebuah tarian. Malah terlihat aneh jadinya,,,
Jadi
menurutku itulah shalawat yang sebenarnya, tanpa teriakan dan siulan, tanpa
gerakkan yang berlebihan, tanpa teriakan yang tak karuan, shalawat adalah dari
hati , sementara otak dan lisan hanya mengikuti apa yang hati ucapkan.
Well,,,
akhirnya sekali lagi ini hanyalah pandanganku saja, penglihatanku saja, bahkan
mungkin ini cuma sekedar opiniku saja, opini dari sebuah interpretasi subjektif
sebuah fenomena..
-Pakualaman,
Maret 2011-
@boed/tyo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar